Sejarah Dan Perkembangan Akuntansi Keperilakuan
Sejarah dan perkembangan akuntansi
keperilakuan
Riset akuntansi keperilakuan merupakan suatu bidang baru yang
secara luas berhubung dengab perilaku individu, kelompok dan oraganisasi bisnis,
terutama yang berhubungan dengan proses informasi akuntansi dan audit. Studi
terhadap perilaku akuntan atau perilaku non akuntan telah banyak dipengaruhi
oleh fungsi akuntan dan laporan (Hofstede dan Kinerd, 1970). Riset akuntansi
keperilakuan meliputi masalah yang berhubungan dengan:
1.
Pembuatan keputusan dan pertimbangan oleh akuntan dan auditor
2.
Pengaruh dari fungsi akuntansi seperti partisipasi dalam penyusunan anggaran,
karakteristik sistem informasi dan fungsi audit terhadap perilakua baik karyawan,
manajer, investor maupun wajib pajak.
3.
Pengaruh dari hasil fungsi tersebut,seperti informasi akuntansi dan pengguaan
pertimbangan dalam pembuatan keputusan.
Akuntansi keperilakuan mulai berkembang sejak profesor
Schuyler Dean Hollet dan profesor Chris Argyris melakukan penelitian di tahun
1951 tentang “Pengaruh Anggaran Pada Orang” (The Impact of budget on people).
Penelitian tersebut disponsori oleh Controllership Foundation of America. Sejak
penelitian tersebut, topik-topik penelitian yang mengkaitkan akuntansi dan
manusia berkembang pesat. Jumlah penjelasan dan kesimpulan dari hasil riset
mengenai perangkat keperilakuan pada anggaran dan pembuatan anggaran dalam
banyak pemikiran masih bersifat sementara dan oleh karena itu masih perlu
disempurnakan. Paradigma riset perilaku yang dilakukan oleh Steadry (1960)
dalam disertasinya telah menggali pengaruh anggaran motivasional dengan
menggunakan suatu elsperimen analog. Selanjutnya disusul oleh karya Benston
(1963) serta Churcil dan Cooper (1965) yang memfokuskan pada akuntansi
manjerial dan pengaruh fungsi akuntansi pada perilaku. Riset-riset ini
berlanjut pada tahun 1970-an dengan satu rangkaian studi oleh Mock (1969-1973),
Barefield (1972), Magee dan Dickhout (1978), Benbasat dan Dexter (1979)
Fokus dari studi-studi tersebut adalah pada akuntansi
manajerial, namun penekanannya mengalami pergeseran dari penhgaruh fungsi
akuntansi keperilaku terhadap pemrosesan informasi oleh pembuat keputusan.
Studi yang mempengaruhi bidang ini dilakukan oleh Ashton (1974) dan Libby
(1975), yang membantu membentuk suatu standar dalam desain eksperimental dan
validasi internal untuk pertimbangan riset yang diikuti.
Mulai dari tahun 1960 sampai 1980-an, jumlah artikel mengenai
akuntansi keperilakuan semakin meningkat. Artikel pertama menggambarkan
mengenai akuntansi keperilakuan, sementara artikel selanjutnya membahas
mengenai teori dan konsep ilmu pengetahuan keperilakuan dalam kaitannya dengan
akuntansi serta implikasinya bagi prinsip-prinsip akuntansi dan praktisinya.
Pertumbuhan studi akuntansi keperliakauan mulai muncul dan berkembang, terutama
diprakarsai oleh akademisi profesi akuntan. Penggabungan aspek-aspek perilaku
pada akuntansi menunjukkan adanya pertumbuhan minat akan bidang riset ini.
Mempertimbangkan aspek Keperilakuan pada akuntansi
Akuntansi bukanlah sesuatu yg statis, tetapi akan selalu
berkembang sesuai dengan perkemvbangan lingkungan akuntansi serta kebutuhan
organisasi akan informasi yang dibutuhkan oleh penggunanya (Khomsiah dalam
Arfan dan Ishak, 2005). Berdasarkan pemikiran tersebut, manusia dan faktor
sosial secara jelas didesain dalam aspek-aspek operasioanal utama dari seluruh
sistem akuntansi.
Para akuntan secara berkelanjutan membuat beberapa asumsi
mengenai bagaimana mereka membuat orang termotivasi, bagaiman mereka
menginterpretasikan dan menggunakan informasi akuntansi dan bagaimana sistem
akuntansi mereka sesusai dengan kenyataan manusia dan mempengaruhi organisasi.
Penjelasan tersebut menunjukkan adanya aspek keperilakuan pada akuntansi, baik
dari pihak pelaksana (penyusun informasi) maupun dari pihak pemakai informasi
akuntansi.
Pihak pelaksana (penyusun informasi akuntansi) adalah
seseorang atau kumpulan orang yang mengoperasikan sistem informasi akuntasi
dari awal sampai terwujudnya laporan keuangan. Pengertian ini menjelaskan bahwa
pelaksan memainkan peranan penting dalam menopang kegiatan organisasi.
Dikatakan penting sebab hasil kerjanya dapat memeberikan manfaat bagi kemajuan
organisasi dalam bentuk peningkatan kinerja melalui motivasi kerja dalam wujud
penetapan standar-standar kerja .
Standar-standar
kerja tersebut dapat dihasilkan dari sistem akuntansi. Dapat diperkirakan apa
yang akan terjadi ketika pelaksana sistem informasi akuntansi tidak memahami
dan memiliki kerja yang diharapkan. Bukan saja laporan yang dihasilkan tidak
handal dalam pengambilan keputusan, tetapi juga sangat berpotensi untuk menjadi
bias dalam memberikan evaluasi kerja unit maupun individu dalam organisasi.
Untuk itu motivasi dan perilaku dari pelaksana menjadi aspek penting dari suatu
sistem informasi akuntansi.
Di sisi lain, pihak pemakai laporan keuangan dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu: pihak Intern (manajemen) dan pihak ekstern
(pemerintah, investor/calon investor, kreditur/calon kreditur, dan lain
sebagainya). Bagi pihak intern, informasi akuntansi akan digunakan untuk
motivasi dan penilaian kinerja. Sedangkan bagi pihak ekstern, akan digunakan
untuk penilaian kinerja sekaligus sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
bisnis. Disamping itu pihak ekstern, juga perlu mendiskusikan berbagai hal
terkait dengan informasi yang disediakan sebab mereka mempunyai suatu rangkaian
perilaku yang dapat memmpengaruhi tindakan pengambilan keputusan bisnisnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa riset akuntansi mulai
mencoba menghunbungkan dan menganggap penting untuk memasukkan aspek
keperilakuan dalam akuntansi. Sejak meningkatnya orang yang sudah memberikan
pengakuan terhadap beberapa aspek perilaku dari akuntansi, terdapat suatu
kecendrungan untuk memandang secara lebih luas terhadap bagian akuntansi yang
lebih subtansial. Perspektif perilaku menurut pandangan ini telah di penuhi
dengan baik sehingga membuat sistem akuntansi yang lebih dapat dicerna dan
lebih bisa diterima oleh para manajer/pimpinan dan karyawannya.
Pelayanan akuntansi mungkin juga telah sampai pada puncak
permasalahan yang rumit dan gagasan akuntansi dapat muncul dari beberapa nilai
yang ada. Tetapi, pertimbangan perilaku dan sosial tidak berarti mengubah dari
tugas akuntansi secara radikal. Namun mulai mengembangkan perspektif dalam
mendekati beberapa pengertian yang mendalam mengenai pemahaman atas perilaku
manusia pada organisasi.
Masalah-masalah dalam akuntansi keperilakuan
Dalam aplikasinya ada banyak masalah yang dapat
dipecahkan/disebabkan oleh akuntansi keperilakuan. Pada intinya ada 3 masalah
yang berhubungan pada saat riset akuntansi keperilakuan yaitu:
1.
Pengambilan keputusan oleh auditor dan akuntan
2.
Pengaruh terhadap fungsi sistem akuntansi seperti penyusunan anggaran, audit ,
dll
3. Pengaruh
hasil/output misalkan informasi akuntansi dll
Contoh kasus
akuntansi keperilakuan
• Skandal akuntansi perusahaan toshiba
Kita sudah tidak asing lagi
dengan nama toshiba, produknya telah banyak menghiasi perkakas rumah dengan
berbagai produk elektroniknya. Toshiba corporation merupakan perusahaan
elektronik asal jepang dengan reputasi yang sangat baik awalnya. Dikenal
sebagai perusahaan dengan laju inovasinya yang terdepan serta bayak mewarnai
referensi buku bisnis dengan berbagai prestasi. Salah satunya karya firma hukum
Mori Hamada dan Matsumoto yang menceritakan tentang bagusnya tata kelola dalam
perusahaan. Toshiba menduduki peringkat sembilan dari 120 perusahaan publik di
jepang dalam Good Governence Practice. Mencerahkan para pelaku bisni sehingga
ingin melakukan hal serupa di perusahaan mereka.
Namun reputasi yang bagus itu
kini hancur berantakan hanya karena presure yang sangat tinggi untuk memenuhi
target performance unit. Kasus ini terjadi baru-baru ini yaitu tahun 2015.
Toshiba terbukti melakukan pembohongan publik dan investor dengan cara
menggelembungkan keuntungan di laporan keuangan sehingga overstated profit 1,2
miliar US Dollar sejak tahun fiskal 2008 dan yang lebih memprihatinkan skandal
tersebut melibatkan top management dari Toshiba Corporation.
Sejak laporan audit
penginvestigasian resmi dirilis dua bulan setelah komite yang diketuai Koichi
Ueda dan beranggotakan beberapa pakar akuntansi Jepang menginvestigasi Toshiba
dan sampai pada kesimpulan telah terjadi penyimpangan. Pada 21 Juli 2015, 8
dari 16 petinggi Toshiba terlibat skandal akuntansi resmi mengundurkan diri.
Termasuk diantaranya Presiden Direktur Hisao Tanaka, Wakil Presdir Norio Sasaki
dan Chief Executive Atsutoshi Nishida
Analisis
kasus
Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak ankuntan Toshiba adalah
pemalsuan laporan keuangan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan kode etik
yang mengatur akuntan. Dalam prinsip etika profesi akuntansi, seorang
professional akuntan wajib berintegritas tinggi, sehingga mampu memelihara
kepercayaan public terhadap dirinya. Guna mempercantik kinerja keuangannya,
Toshiba melakukan berbagai cara baik mengakui pendapatan lebih awal atau
menunda pengakuan biaya pada periode tertentu namun dengan metode yang menurut
investigator tidak sesuai prinsip akuntansi, seperti menggunakan cash-based
ketika pengakuan provisi yang seharusnya dengan metode akrual, memaksa supplier
menunda penerbitan tagihan meski pekerjaan sudah selesai, dan lain semisalnya.
Besarnya angka, rentang waktu yang tidak sebentar, juga
keterlibatan Top Management memberi gambaran kepada kita betapa kronis dan
kompleksnya penyakit dalam tubuh Toshiba. Penyelewengan dilakukan secara
berjamaah, sistematis dan cerdas. Sekian lapis sistem kontrol dari mulai divisi
akuntansi, keuangan, internal audit, tidak berfungsi sama sekali. Bagaimana
akan berfungsi, bahkan oknumnya dari staff senior mereka yang sudah hafal seluk
beluk perusahaan.
Seiya Shimaoka, seorang internal auditor, mencurigai
kecurangan dan berusaha melaporkan tapi malah dianggap angin lalu oleh
atasannya sendiri seperti yang dilansir jurnalis Financial Times. Sedemikian
rapi dan cerdasnya hingga tim auditor eksternal sekelas Ernst & Young (EY)
tak mampu mencium aroma busuk dari laporan keuangan Toshiba. Belum ada dugaan
kantor akuntan itu terlibat dalam skandal.
CEO memang tidak menginstruksikan langsung untuk melakukan penyimpangan tetapi memasang pencapaian target yang tinggi. Ini yang membuat karyawan merasa tertekan. Apalagi ditambah budaya Toshiba yang kurang baik: tidak bisa melawan atasan. Maksudnya melawan adalah koreksi atas kesalahan manajemen mengambil keputusan. Dalam kasus Toshiba, bawahan tidak bisa mengkoreksi penetapan target oleh CEO yang bahkan tidak realistis dengan kondisi bisnis dan perusahaan.
Selain itu, sistem kompensasi
karyawan yang dihitung dari kinerja keuangan juga turut andil di dalamnya. Maka
muncullah ide-ide kreatif dari karyawannya untuk mencapai target yang
ditetapkan. Celakanya kreatifitas kali ini bukan dalam riset pengembangan atau
pemasaran namun dalam hal perlakuan akuntansi. Dibuatlah laporan keuangan
dengan profit tinggi padahal tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Pemalsuan yang dilakukan pihak akuntan Toshiba menimbulkan hilangnya
kepercayaan publik terhadap akuntan turun drastis sebab integritasnya yang
menurun.
0 komentar:
Posting Komentar